Sunday, July 10, 2011

Dunia Retak 6

Aku menutup jendela kamar untuk dapat berkonsentrasi pada lukisanku, tak lama sebelum matahari terbenam, ketika tiba-tiba pintu terbuka dan temanku datang ke ruangan tempatku bekerja. Pada saat memasuki ruangan, ia berjalan lurus ke dinding seberang dan duduk jongkok di lantai. Aku menyadari bahwa aku harus memberinya beberapa makanan untuk menghormati kedatangannya. Aku menyalakan lampu dan masuk ke ruangan gelap yang terbuka. Aku mencari di setiap sudut dengan harapan akan menemukan sesuatu yang dapat kutawarkan untuknya, meskipun aku tahu tak ada lagi yang tersisa.

Tiba-tiba ujung mataku menangkap sesuatu, dan seolah-olah memperoleh ilham, aku mendekatinya. Pada rak yang terpaku di dinding berdiri sebotol anggur tua peninggalan masa laluku. Aku tidak pernah mengingat dan telah sepenuhnya lupa bahwa ada benda seperti itu di rumah ini. Untuk mencapai rak, aku berdiri di kursi yang kebetulan ada di sana. Ketika ku sampai di botol itu, aku kebetulan melihat keluar melalui lubang ventilasi di rak. Di tanah terbuka di luar ruangan, aku melihat seorang lelaki duduk di kaki pohon cemara membungkuk d ihadapan seorang gadis muda - tidak, seorang malaikat dari surga – yang berdiri di depannya. Dia membungkuk dan dengan tangan kanannya ia menawarkan bunga berwarna biru.

Gadis itu tepat menghadapku, tapi ia tampaknya tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Dia menatap lurus ke depan tanpa melihat sesuatu yang istimewa. Di bibirnya tersungging senyum samar, tak sadar - seolah-olah ia sedang memikirkan seseorang yang tidak hadir. Saat itulah aku pertama kali merasakan kehadirannya, mata sihir yang menakutkan, mata yang tampaknya digunakan untuk mengekspresikan kepahitan terdalam yang pernah dirasakan oleh manusia. Mata yang menjadi cerminan jiwaku dan seolah menarik jiwaku ke padanya dengan kekuatan tak terbayangkan. Seolah-olah ia telah melihat hal-hal buruk, transendental, yang telah diberikan kepada siapa pun kecuali untuk melihat. Tulang pipinya menonjol dengan dahi yang tinggi. Alis ramping bertemu di tengah. Wajahnya pucat seperti bulan, dibingkai dalam jilbab yang menyisakan hitam rambut yang acak-acakan dengan alur tunggal yang menempel di dahi. Kehalusan tubuh dan gerakannya ditandai sebagai salah satu yang tidak ditakdirkan untuk hidup lama di dunia ini. Tak seorang pun kecuali seorang penari yang dapat menyamai karunia yang dimilikinya, gerakan tubuh yang harmonis.

Udara disekitarnya penuh dengan aroma sukacita dan kesedihan yang berbaur hingga membuatnya berbeda dari manusia biasa. Kecantikannya luar biasa. Mengingatkanku tentang sebuah pemandangan yang hanya dapat ku peroleh melalui mimpi terindahku.

Dia mengenakan gaun hitam yang menempel erat di tubuhnya. Menatapnya, aku yakin dia ingin melompat ke sungai yang memisahkannya dari lelaki itu, tapi ia tak mampu melakukannya. Tiba-tiba-tiba lelaki itu tertawa. Tertawa dengan hampa, sumbang, dengan kualitas yang membuat bulu roma berdiri, keras dan suram serta mengejek. Namun ekspresi wajahnya tidak berubah. Seolah-olah tawa itu menggema di suatu tempat jauh di dalam tubuhnya. Dalam ketakutan, aku melompat dari kursi dengan botol tetap di tanganku. Gemetar aku dalam keadaan takut bercampur senang, aku meletakkan botol anggur di lantai dan memegang kepala dengan kedua tangan. Entah berapa lama aku tetap seperti itu, aku tidak tahu. Ketika aku tersadar kembali, aku mengambil botol dan kembali ke kamar. Temanku telah pergi dan meninggalkan pintu terbuka seperti mulut menganga orang yang telah mati. Suara tawa kosong dari lelaki itu masih bergema di telingaku.

Hari mulai gelap. Lampu peneranganpun mulai dipasang. Aku telah bisa menyesuaikan diri kembali dari rasa gemetar yang diakibatkan peristiwa yang kusaksikan melalui lubang tersebut. Sejak saat itu hidupku mulai berubah. Dengan pandangannya yang berasal dari langit, gadis itu telah meninggalkan jejak keberadaannya tertanam lebih dalam di pikiranku.

Source : Herman Kumuh Note's

No comments: